Meningkatkan Skrining Bayi Baru Lahir (NBS) di Indonesia

Sejak diperkenalkan pada tahun 1960-an, skrining bayi baru lahir telah menjadi tonggak penting dalam kesehatan masyarakat. Program ini dimulai dengan deteksi fenilketonuria, sebuah kelainan metabolik, dan berkembang mencakup berbagai kondisi lainnya. Perluasan NBS untuk mencakup penyakit langka dan kelainan genetik menandai kemajuan signifikan dalam diagnosis dini dan intervensi. Saat ini, banyak negara telah melakukan skrining terhadap lebih dari 30 jenis gangguan, tetapi tidak terbatas pada hipotiroidisme kongenital, hiperplasia adrenal kongenital, dan penyakit jantung bawaan kritis. 

Artikel ini akan membahas secara khusus kondisi terkini skrining bayi baru lahir di Indonesia.

 

 

Pentingnya Skrining Bayi Baru Lahir (NBS)

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), lebih dari 13.000 bayi baru lahir didiagnosis memiliki kondisi medis setiap tahunnya (Furu, 2024). Banyak dari kondisi ini tidak menunjukkan gejala selama minggu-minggu pertama kehidupan, sehingga bayi yang terlihat sehat mungkin memiliki masalah mendasar yang dapat memengaruhi perkembangan mental dan fisik mereka, atau bahkan menyebabkan kematian dini. Namun, deteksi dini memungkinkan banyak dari kondisi ini dapat diobati.

Skrining bayi baru lahir menawarkan metode yang sederhana dan hemat biaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui identifikasi kondisi medis pada bayi secara cepat. 

Program ini penting karena beberapa alasan berikut:

    1. Deteksi Dini

      Skrining bayi baru lahir memungkinkan identifikasi dini terhadap kelainan genetik, metabolik, dan endokrin tertentu yang dapat memiliki dampak kesehatan serius jika tidak ditangani.

    2. Intervensi Tepat Waktu

      Deteksi dini memungkinkan pengobatan dini. Hal ini dapat mencegah masalah kesehatan yang serius, keterlambatan perkembangan, bahkan kematian.

    3. Pengurangan Biaya Kesehatan

      Dengan mengidentifikasi dan mengobati kondisi sejak awal, biaya kesehatan jangka panjang dapat dikurangi secara signifikan. Penanganan gangguan pada tahap awal biasanya lebih murah daripada mengobatinya setelah muncul komplikasi.

    4. Peningkatan Kualitas Hidup

      Intervensi dini dapat secara signifikan meningkatkan kualitas hidup anak yang terdampak, memungkinkan mereka menjalani kehidupan yang lebih sehat dan produktif.

    5. Perencanaan Keluarga yang Lebih Baik

      Skrining bayi baru lahir memberikan informasi berharga kepada keluarga tentang kesehatan anak mereka dan dapat membantu dalam keputusan perencanaan keluarga di masa depan.

       

Secara keseluruhan, skrining bayi baru lahir adalah program kesehatan masyarakat yang penting untuk memastikan hasil kesehatan yang lebih baik bagi anak-anak dan memberikan ketenangan pikiran bagi keluarga mereka.

 

 

Alat yang Digunakan dalam Skrining Bayi Baru Lahir (NBS)

NBS biasanya melibatkan beberapa teknologi berikut:

1. Tes Dried Blood Spot (DBS):
Sampel darah kecil diambil dari tumit bayi menggunakan tusukan kecil (heel prick). Darah tersebut kemudian diteteskan pada kartu kertas saring khusus dan dibiarkan mengering. Sampel darah kering ini kemudian dikirim ke laboratorium untuk dianalisis.

Tangan berlapis sarung tangan menangani kartu darah kering (DBS) yang dianalisis oleh peralatan laboratorium, menunjukkan alat penting yang digunakan dalam skrining bayi baru lahir.

(Foto oleh Violetta Ignatenko dari Shutterstock)

 

2. Pulse Oximetry:
Tes non-invasif ini digunakan untuk mengukur kadar oksigen dalam darah bayi. Alat ini sangat berguna untuk mendeteksi cacat jantung bawaan kritis (Critical Congenital Heart Defects atau CCHD) yang dapat menyebabkan kadar oksigen dalam darah sangat rendah (Kemper, 2024).

Ibu memegang kaki bayi prematur dengan oksimeter nadi neonatus selama skrining bayi baru lahir.

(Foto oleh Kristina Bessolova dari Shutterstock)

 

3. Teknologi Baru yang Sedang Berkembang:
Teknologi seperti genomic sequencing, tandem mass spectrometry, dan digital microfluidics meningkatkan akurasi dan cakupan skrining, memungkinkan identifikasi berbagai kondisi yang lebih luas.

Di Indonesia, sementara tes darah kering (DBS) menjadi metode utama yang digunakan, integrasi teknologi canggih dapat meningkatkan deteksi dan pengelolaan kondisi seperti hipotiroidisme kongenital (CH) dan cacat jantung bawaan kritis (CCHD).

 

 

Kondisi Terkini Skrining Bayi Baru Lahir (NBS) di Indonesia

Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam mengimplementasikan program skrining bayi baru lahir. Diluncurkan pada tahun 2014, program nasional terutama berfokus pada hipotiroidisme kongenital (Congenital Hypothyroidism atau CH). Program ini menjadi langkah penting dalam menangani penyebab gangguan mental yang dapat dicegah dan masalah kesehatan lainnya pada bayi baru lahir (Gilbert Sterling Octavius et al., 2023).

Meskipun telah ada kemajuan, beberapa tantangan masih harus diatasi:

    1. Cakupan Skrining:
      Pada tahun 2022, hanya 2.3% bayi baru lahir yang disaring untuk CH, dengan 56 kasus positif terdeteksi. Namun, angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi yang diharapkan.
    2. Kesenjangan Infrastruktur:
      Indonesia hanya memiliki 11 laboratorium rujukan untuk skrining CH, yang membatasi aksesibilitas di banyak wilayah.
    3. Perkembangan Terkini:
      Pada tahun 2022, Kementerian Kesehatan meluncurkan kembali dan mempercepat program skrining dengan target menyaring 463, 000 bayi baru lahir. Namun, hingga akhir tahun, hanya 99, 263 sampel (21.4%) yang berhasil disaring.

Meningkatkan cakupan dan memperbaiki infrastruktur tetap menjadi kunci untuk memperluas program ini.

 

 

Insiden Hipotiroidisme Kongenital (CH)

Petugas medis yang mengenakan sarung tangan memberikan perawatan kepada bayi baru lahir di lingkungan neonatus, dengan bayi yang berbaring di tempat tidur rumah sakit dikelilingi oleh peralatan medis.

(Foto oleh I. Kolesnik dari Shutterstock)

 

Secara global, CH memengaruhi 1 dari 3,000 bayi baru lahir, dengan angka yang lebih tinggi di daerah yang kekurangan yodium. Di Indonesia, prevalensi pada tahun 2022 adalah 1 dari 12,724 bayi, jauh di bawah rata-rata global karena cakupan skrining yang terbatas. Memperluas cakupan hingga mencapai rekomendasi 90% dapat mengungkapkan prevalensi yang lebih mendekati standar internasional.

 

 

Insiden Penyakit Jantung Bawaan Kritis (CCHD)

Bayi baru lahir yang mengenakan topi rajut dan onesie bermotif diperiksa dengan stetoskop, berbaring dengan tenang di atas selimut berwarna-warni.

(Foto oleh Valmedia dari Shutterstock)

 

CCHD terjadi pada sekitar 1 dari 500 kelahiran hidup, setara dengan 9,000 kasus per tahun di Indonesia. Tanpa deteksi dini dan pengobatan, CCHD berkontribusi pada tingginya angka kematian bayi (IMR), yaitu 16.85 per 1,000 kelahiran hidup. Implementasi pulse oximetry sebagai bagian dari skrining rutin dapat mengatasi kekurangan ini.

 

 

Tantangan dalam Implementasi Skrining Bayi Baru Lahir (NBS) di Indonesia

Program skrining bayi baru lahir di Indonesia berfokus pada deteksi dini kelainan bawaan pada bayi baru lahir, seperti hipotiroidisme kongenital (Congenital Hypothyroidism atau CH) dan cacat jantung bawaan kritis (Critical Congenital Heart Defects atau CCHD), untuk mencegah masalah kesehatan jangka panjang. Namun, penelitian oleh Octavius et al. (2023) dan Pulungan et al. (2024) mengungkap beberapa tantangan yang menghambat efektivitas program ini:

  1. Keterbatasan Data

    Minimnya data prevalensi tentang kondisi seperti Hipotiroidisme Kongenital (CH) dan Hiperplasia Adrenal Kongenital (Congenital Adrenal Hyperplasia atau CAH) menghambat pengambilan kebijakan yang efektif. Terdapat kesenjangan penelitian di area kelahiran prematur, kadar yodium, dan variasi geografis.

  2. Hambatan Ekonomi

    Tingginya biaya peralatan, bahan habis pakai, dan tindak lanjut jangka panjang membebani sumber daya yang tersedia. Tidak adanya penilaian teknologi kesehatan (Health Technology Assessment atau HTA) juga membatasi pendanaan dan keberlanjutan program.

  3. Pertimbangan Etis

    Tantangan meliputi persetujuan yang diinformasikan, kebijakan yang diabaikan, kecemasan orang tua akibat hasil positif palsu, serta kurangnya pedoman yang jelas tentang penyimpanan sampel dan privasi.

  4. Kesenjangan Infrastruktur

    Kurangnya laboratorium, peralatan rumah sakit yang sudah usang, dan terbatasnya sistem teknologi informasi (IT) menghambat diagnosis dan tindak lanjut yang akurat.

  5. Masalah Logistik

    Penundaan distribusi sampel, waktu pelaporan yang lama, dan tidak adanya regulasi terkait penyimpanan atau pembuangan kartu skrining mengganggu efisiensi program.

  6. Dukungan Pemerintah

    Kebijakan nasional yang tidak konsisten dan ketergantungan pada anggaran daerah menghambat perluasan program di luar skrining CH.

  7. Kurangnya Komitmen

    Kepatuhan minimal terhadap persyaratan program dan penundaan dalam pengumpulan data melemahkan hasil yang dicapai.

  8. Kesadaran Orang Tua

    Hambatan finansial dan geografis, ditambah dengan rendahnya kesadaran, mengurangi partisipasi dalam pengujian konfirmasi dan konsultasi antenatal.

  9. Keterbatasan Tenaga Kerja

Kekurangan tenaga kesehatan dan spesialis yang terlatih, terutama di daerah pedesaan, menyebabkan penolakan sampel dan akses yang tidak merata terhadap layanan kesehatan.

 

 

Masa Depan Skrining Bayi Baru Lahir (NBS) di Indonesia

Meskipun menghadapi tantangan saat ini, masa depan skrining bayi baru lahir di Indonesia menunjukkan harapan besar. Upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan infrastruktur, melatih tenaga kesehatan, dan memperluas program skrining.

Dengan dukungan pemerintah yang berkelanjutan serta kolaborasi dengan tenaga kesehatan profesional dan kelompok pendukung, program skrining bayi baru lahir dapat menjadi lebih komprehensif dan efektif. Tujuan utamanya adalah memastikan deteksi dan intervensi dini terhadap gangguan bawaan, sehingga meningkatkan hasil kesehatan bayi baru lahir di seluruh negeri.

Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin menegaskan komitmen pemerintah:
Pada akhir tahun 2023, sebanyak 1.2 juta bayi telah menjalani skrining. Strategi mencakup perluasan laboratorium, penguatan sistem kesehatan primer, dan peningkatan kesadaran masyarakat.
(Pernyataan ini diambil dari situs resmi Kementerian Kesehatan www.sehatnegeriku.kemkes.go.id).

Strategi Kementerian Kesehatan untuk Perluasan Skrining Bayi Baru Lahir

1. Perluasan Fasilitas Laboratorium:
Kolaborasi dengan pemerintah daerah dilakukan untuk meningkatkan fasilitas laboratorium kesehatan masyarakat serta mempercepat transportasi sampel skrining guna pemrosesan yang lebih cepat dan efisien.

2. Penguatan Sistem Kesehatan Primer:
Upaya ini mencakup penyediaan infrastruktur kesehatan modern di fasilitas kesehatan, peningkatan layanan ibu dan bayi baru lahir di fasilitas kesehatan publik dan swasta, serta memastikan perawatan yang menyeluruh bagi ibu dan bayi.

3. Peningkatan Kesadaran Masyarakat:
Promosi pentingnya skrining kesehatan bayi baru lahir dilakukan melalui kampanye kesehatan yang luas, melibatkan komunitas dan individu.

 

 

Bergabunglah dalam Gerakan: Memperluas Akses Skrining Bayi Baru Lahir untuk Masa Depan yang Lebih Sehat

Mengatasi tantangan dalam skrining bayi baru lahir, seperti kurangnya pelatihan khusus, membutuhkan tindakan segera. Program pelatihan yang komprehensif untuk tenaga kesehatan sangat penting untuk memastikan keberhasilan inisiatif skrining bayi baru lahir di Indonesia.

Dengan berinvestasi dalam program ini, kita dapat memberdayakan tenaga kesehatan dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengimplementasikan program skrining bayi baru lahir yang efektif. Hal ini akan meningkatkan deteksi dini dan pengobatan gangguan bawaan, membuka jalan menuju masa depan yang lebih sehat bagi bayi baru lahir di seluruh Indonesia.

Mari prioritaskan pelatihan dan pendidikan untuk mengatasi tantangan ini dan memberikan dampak positif yang bertahan lama bagi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak kita.

 

Daftar sekarang dan bergabunglah dalam gerakan untuk meningkatkan kesehatan bayi di Indonesia!

 

 

 

 

Referensi:
  1. Aman Bhakti Pulungan, Helena Arnetta Puteri, Faizi, M., Paul Leslie Hofman, Agustini Utari, & Jean-Pierre Chanoine. (2024). Experiences and Challenges with Congenital Hypothyroidism Newborn Screening in Indonesia: A National Cross-Sectional Survey. International Journal of Neonatal Screening, 10(1), 8–8. https://doi.org/10.3390/ijns10010008
  2. Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan, Direktorat Peningkatan Mutu Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Mata Pelatihan Dasar: Kebijakan program skrining bayi baru lahir pada PJB kritis dan gangguan skrining hipotiroid kongenital (SHK): Pelatihan skrining bayi baru lahir bagi dokter, bidan, perawat di puskesmas. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
  3. Furu, P. (2024). The Importance of Newborn Screening in Identifying Medical Disorders. Diagnostics from Technology Networks; Technology Networks. https://www.technologynetworks.com/diagnostics/articles/the-importance-of-newborn-screening-in-identifying-medical-disorders-391909
  4. Giancarlo la Marca, Carling, R. S., Moat, S. J., Yahyaoui, R., Ranieri, E., Bonham, J. R., & Peter. (2023). Current State and Innovations in Newborn Screening: Continuing to Do Good and Avoid Harm. 9(1), 15–15. https://doi.org/10.3390/ijns9010015
  5. Gilbert Sterling Octavius, Vamela Adman Daleni, & Sagala, S. (2023). An Insight into Indonesia’s Challenges in Implementing Newborn Screening Programs and Their Future Implications. Children (Basel), 10(7), 1216–1216. https://doi.org/10.3390/children10071216
  6. Gilbert Sterling Octavius, Vamela Adman Daleni, & Sagala, S. (2024). An Insight Into Indonesia’s Progress for Newborn Screening Program: What is Currently Going On. Heliyon, 10(13), e33479–e33479. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e33479
  7. Kemper, A. (2024). Newborn Pulse Oximetry Screening to Detect Critical Congenital Heart Disease. HealthyChildren.org. https://www.healthychildren.org/English/ages-stages/baby/Pages/Newborn-Pulse-Oximetry-Screening-to-Detect-Critical-Congenital-Heart-Disease.aspx
  8. Murni, I. K., Wibowo, T., Arafuri, N., Oktaria, V., Dinarti, L. K., Panditatwa, D., Patmasari, L., Noormanto, N., & Nugroho, S. (2022). Feasibility of screening for critical congenital heart disease using pulse oximetry in Indonesia. BMC Pediatrics, 22(1). https://doi.org/10.1186/s12887-022-03404-0
  9. Setyaningsih, W., & Dwi Wulandari, R. (2022). The Evaluation of Congenital Hypothyroidism Screening Program in Indonesia: A Literature Review. Jurnal Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan. https://aisyah.journalpress.id/index.php/jika/